Belakangan ini ramai dibahas soal Bobibos, sebuah bahan bakar alternatif berbahan dasar jerami padi yang diklaim mampu menandingi Pertamax Turbo, lebih irit, dan lebih murah. Sebagian orang antusias karena dianggap inovasi anak bangsa, sebagian lain skeptis karena klaimnya terdengar terlalu bagus untuk jadi kenyataan.
Agar objektif, mari kita bahas dari sisi ilmiah, pemanfaatan di kendaraan, serta tantangan implementasinya.
1. Secara Teoritis: Apakah Jerami Bisa Diubah Jadi Bahan Bakar?
Jawaban singkatnya: bisa — dan bukan hal baru.
Jerami mengandung selulosa, hemiselulosa, dan lignin, yang dapat diolah menjadi gula (glukosa), kemudian difermentasi menjadi etanol, lalu dimurnikan menjadi bioetanol.
Ini berarti:
➡️ Hasil akhirnya bukan bensin, tetapi etanol, jenis bahan bakar nabati yang sudah umum digunakan di banyak negara.
Berapa potensi hasilnya?
Secara teori:
-
1 kg jerami → 0,413 liter etanol (maksimal)
-
1 ton jerami → 413 liter etanol
Namun ini adalah batas ideal. Di dunia nyata, efisiensi 50% saja sudah sangat bagus.
2. Penggunaan Bioetanol di Kendaraan: Bisa, Tapi…
Bioetanol memang dapat digunakan untuk kendaraan, namun ada beberapa catatan penting.
A. Energi per liter lebih rendah
Artinya:
➡️ Untuk liter yang sama, jarak tempuh etanol pasti lebih pendek dibanding bensin.
➡️ Klaim bahwa bahan bakar jerami bisa menempuh jarak lebih jauh tidak sesuai hukum fisika.
B. Mesin perlu penyesuaian
-
Memiliki AFR (air–fuel ratio) berbeda
-
Bensin: 14,7:1
-
Etanol: 9,7:1
➝ mesin butuh lebih banyak etanol untuk pembakaran yang sama.
-
-
Bersifat higroskopis (menyerap air) sehingga meningkatkan risiko korosi.
➡️ Kendaraan standar tidak bisa langsung memakai 100% etanol tanpa modifikasi besar.
C. Soal RON (Research Octane Number)
Etanol murni punya nilai RON yang sangat tinggi: RON 108.
Namun jika sebuah produk etanol bernilai RON 98, kemungkinan:
-
Tidak murni (masih ada pengotor), atau
-
Dicampur dengan bahan bakar RON lebih rendah (misal Pertalite).
Perhitungan campuran sederhana menunjukkan:
-
Campuran 44% etanol + 56% Pertalite → RON 98 (pendekatan)
3. Tantangan Implementasi di Dunia Nyata
Meski secara teori memungkinkan, banyak perusahaan dunia yang gagal memproduksi bioetanol dari jerami secara ekonomis.
Contoh nyata:
-
Clariant (Swiss) — berhasil di skala lab, tapi gagal di skala industri karena biaya produksi lebih mahal daripada nilai jual etanolnya.
Masalah utamanya:
A. Supply chain jerami sangat sulit
-
Jerami memang banyak, tapi:
-
sulit dikumpulkan secara konsisten
-
kualitasnya tidak merata
-
volumenya besar, sulit transportasinya
-
B. Pretreatment sangat mahal
Selulosa/hemiselulosa dalam jerami sulit dipecah menjadi glukosa, membutuhkan proses rumit dan enzim mahal.
Clariant sendiri hanya mampu menghasilkan:
-
200–250 liter etanol per ton jerami
(≈50% dari batas teoritis)
Untuk 1 hektar sawah (≈10 ton jerami):
➡️ ±2.500 liter etanol dengan teknologi canggih.
Karena itu klaim produksi 3.000 liter/ha plus harga jual Rp 4.000/liter terdengar tidak realistis secara ekonomi.
C. Kenapa tebu dan jagung lebih umum?
Karena:
-
Kandungan gula lebih tinggi
-
Lebih mudah diproses
-
Supply chain jauh lebih stabil
-
Biaya produksi lebih rendah
Contoh sukses terbesar: Brazil, yang menggunakan mesin kendaraan khusus etanol.
Kesimpulan
Dari analisis ilmiah:
✔ Jerami padi bisa diubah menjadi bahan bakar (bioetanol).
✘ Tidak bisa menghasilkan jarak tempuh lebih jauh daripada bensin.
✔ Bisa dipakai untuk kendaraan, tapi butuh modifikasi besar pada mesin.
✘ Sangat sulit diproduksi murah, terutama dari jerami (bukan tebu/jagung).




0 komentar:
Posting Komentar